Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi
Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang
diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967
yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya
itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya
sebagai presiden penuh.
Pengukuhan tersebut dapat dijadikan
indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru. Setelah memperoleh kekuasaan
sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan
politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun
sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966),
Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap
MPRS No.XI/1966) Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama
telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila.
Diantara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis
(Blok Timur).
Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi
Sesuai dengan ketentuan yang telah
digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan
rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari
rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan pembangunan
ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan
rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai
pendekatan keamanan (security approach), termasuk di dalamnya
deSoekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial
politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah.
Seiring dengan itu, dibentuk
lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965),
Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970). Mengenai kebijakan
politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru
berupaya mengembalikan Indonesia dari politik NefosOldefos dan “Poros
Jakarta -Pnom Penh – Hanoi-Peking – Pyongyang” ke politik luar negeri
Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun
diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal
itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat
Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan
menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada
kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia
akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi dan keuangan antara
Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerjasama
itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.
Sebagai wujud nyata dari niat itu,
Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk
Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia
1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali
aktif di forum Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Pada era Orde Lama,
Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah
berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina
membentuk organisasi kerjasama regional ASEAN (Association of South
East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN
ini adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang
ekonomi dan budaya.
Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Langkah pertama melaksanakan pembangunan
nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6
Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan
Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu); 2.
Menyusun dan merencanakan Repelita; 3. Melaksanakan Pemilu
selambat-lambatnya pada Juli 1971; 4. Mengembalikan ketertiban dan
keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan
setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945;
5. Melanjutkan penyempurnaan dan
pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di
daerah dari unsur-unsur komunisme .
Dalam rangka menciptakan kondisi politik
yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP
MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu),
pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi
kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu
stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan
antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut
kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga
menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih
mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera
melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan
politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971.
Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu
dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri,
sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23
tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai
politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol,
yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai
Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak
(Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah
dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai
berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24
kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo
(10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150) Pada akhir tahun
1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai
politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa
“demokrasi parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak
memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan.
Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga
persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang
memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu
stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya
penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi
Pancasila.
Pada awalnya banyak parpol yang menolak
gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi
kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun
adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan
lain. Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui
Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam
dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU,
Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam
PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung
dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang
semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal
berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar